Melempar geranat
kepada serdadu NICA (Nederlandsch Indie Civil Administratie) adalah
pekerjaan Edhi Sunarso di usia 14 tahun. Sebelum menjadi seniman, Edhi yang
lahir di Salatiga, 2 Juli 1932 memang
seorang pejuang kemerdekaan. (@yunisap)Ia adalah mantan Pasukan Samber Nyawa Divisi I,
Bataliyon III, Resimen V Siliwangi.
Edhi
Sunarso dikenal sebagai pematung realis. Patung-patungnya yang kebanyakan bertema
perjuangan, bertebaran di ruang-ruang publik kota-kota di Indonesia. Selain itu, karyanya yang berupa monumen dan
diorama sejarah juga banyak.
Karena karya-karyanya
yang luar biasa maka negara telah menganggapnya berjasa besar terhadap bangsa
dan negara dalam memajukan dan membina kebudayaan nasional. Sehingga, ia
dianugerahi Tanda Kehormatan Bintang Budaya Parama Dharma pada 12
Agustus 2003.
Di samping itu, ia
juga telah memiliki beberapa tanda penghargaan, yaitu: Lomba Seni Patung
Internasional di Inggris The Unknown Political Prosoner (1953), Medali
Emas dari Pemerintah India untuk Karya Seni Patung Terbaik (1956), Piagam Seni
dari Pemerintah Republik Indonesia (1984), serta Piagam Seni dari Pemerintah
Daerah Istimewa Yogyakarta untuk Karya Monumental (1996).
Mengenai pameran, Ehi
Sunarso telah beberapa kali mengadakan pameran, baik di dalam maupun di luar
negeri, antara lain: Pameran Tunggal di Santiniketan India (1956), Pameran
Tunggal dan Pameran Nasional ALL India di India (1957), pameran bersama istri
di Yogyakarta (1959), dan pameran bersama But Mohtar, G.Sidharta, dan
Rita Widagdo (1987).
Di dunia pendidikan,
ia sudah aktif sebagai staf pengajar pada Akademi Kesenian Surakarta sejak
tahun 1958-1959. Tahun 1959-1967, ia mengajar di Sekolah Tinggi Seni Rupa
Indonesia (STSRI) ASRI Yogyakarta sebagai Ketua Jurusan Seni Patung. Pada
1967-1981, sebagai tenaga pengajar pada Institut Keguruan Ilmu Pendidikan
Negeri (IKIP) Yogyakarta. Tahun 1968-1984, sebagai pengajar merangkap asisten
Ketua Bidang Akademik STSRI/ISI (Institut Seni Indonesia) Yogyakarta. Dan tahun
1985-1990, sebagai pengajar sekaligus Sekretaris Senat di ISI Yogyakarta.
Mengenai
perjalanan hidupnya sampai menjadi pematung, juga menarik untuk dipaparkan.
Sebenarnya, dulu Edhi ingin jadi mekanik. Namun, keadaan menggiringnya jadi
seniman.
Sejak usia 7 bulan,
anak dari Somo Sardjono ini sudah harus berpisah dengan kedua orang tuanya.
Hari kelahirannya, Selasa Wage, ternyata sama dengan Ayahandanya. Dalam tradisi
Jawa, ada istilah tumbuk weton, yaitu jika hari kelahiran anak pria sama
dengan ayahnya maka dipercaya hal ini dapat membawa kesialan, sehingga keduanya
harus dipisah. Akhirnya, Edhi Sunarso dibawa ke daerah Kemayoran, Jakarta dan
diasuh oleh Budenya.
Saat Jepang masuk ke
Jakarta dan membombardir beberapa lokasi di ibukota, termasuk rumah Budenya
Edhi, ia terpisahkan dari Budenya yang lari mengungsi entah kemana. Edhi pun
langsung dibawa oleh seorang guru ke Pegaden Baru di Subang dan diangkat
menjadi anak.
Kemudian,
perang kemerdekaan berkobar. Edhi yang masih berusia belasan tahun, bergabung dengan
pejuang gerilyawan Indonesia untuk melawan Belanda.
Saat itu ia bertugas menjadi kurir, yaitu penghubung antar pejuang kemerdekaan.
Ketika kelas 5 Sekolah Rakyat (SR), ia tinggalkan sekolahnya dan mulai bergerak
sebagai pasukan sabotase yang membakar pabrik-pabrik milik Belanda.
Ketika di Cimalaya, Edhi
Sunarso beserta pasukannya yang berjumlah 19 orang dikepung oleh Belanda. Sejak
itulah hampir selama empat tahun, ia hidup dari penjara ke penjara dan
merasakan siksaan. Dan di penjara inilah Edhi
berkenalan dengan seni. Tiap hari ia ditugasi menggambar dan bikin kerajinan.
Pada usia 16 tahun,
Edhi Sunarso diperbolehkan untuk keluar dari penjara. Saat mendengar keputusan
itu, bukannya senang, ia justru khawatir karena tidak tahu akan pergi ke mana.
Lalu,
Edhi berniat bergabung lagi di Divisi Siliwangi. Tapi, ketika itu induk
pasukannya sedang tugas ke Yogyakarta. Ia pun berjalan kaki dari Bandung ke
Semarang dan dapat nunutan ke Jogya. Sampai di Jogja, eh, ternyata induk
pasukan Divisi Siliwangi sudah balik ke Bandung.
Nasib
Edhi pun terkatung-katung. Untuk menyambung hidup, ia jadi tukang semir di
Stasiun Tugu. Kemudian, ia lapor ke markas TNI di Yogya dan diberi opsi:
melanjutkan karier Militer atau sekolah. Setelah berfikir–sadar usianya masih
muda dan hanya sempat sekolah sampai kelas 5 SR–Edhi memilih keluar dari
dinas militer. Tapi, ia juga bingung cari sekolah karena tidak punya ijazah.
Di tengah
kebingungannya (saat itu tahun 1950), ada akademi baru ASRI (Akademi Seni Rupa
Indonesia) yang mengingatkan Edhi kepada kebiasaan dan bakat yang dipupuk saat
meringkuk di tahanan. Edhi pun setiap hari ke kampus ASRI untuk melihat
mahasiswa yang sedang praktik.
Karena
tiap hari nongkrong di kampus ASRI dengan pakaian itu-itu saja–seragam militer
dengan cap tahanan Belanda–maka menarik perhatian Hendra Gunawan, seorang
perupa dan dosen. Hendra pun mendekati dan bertanya, “Apakah Edhi ingin sekolah
di ASRI?” Spontan jawabnya : “Saya Ingin!”
Walaupun
tak punya ijazah, atas lobi Hendra kepada Direktur ASRI, Amoroso Katamsi, maka
Edhi diterima menjadi mahasiswa “dengar”. Edhi tidak ikut kuliah teori di kelas
dan hanya mendengarkan dan mengikuti praktik di lapangan.
Saat
Monumen Simpang Lima Semarang dibangun (oleh Hendra Gunawan), Edhi dipercaya
jadi koordinator pelaksana. Monumen itu diresmikan Bung Karno, yang sempat
terkesima dan mencari Edhi Sunarso. Di sinilah Edhi berkenalan dengan Bung
Karno.
Pada 1955
hingga 1957, Edhi memperoleh beasiswa dari Unesco untuk belajar di Visva
Bharaty University di Santiniketan,
India. Akhir 1997 ia pulang ke tanah air dan menjabat
sebagai ketua Jurusan Seni Patung di ASRI.
Selanjutnya,
Edhi dipanggil Bung Karno dan ditantang membuat patung perunggu setinggi 9
meter (Tugu Selamat Datang yang berdiri di Bundaran HI). Edhi mengaku tidak
sanggup. Patung sebesar itu dengan bahan perunggu bukan karya yang mudah. Bung
Karno pun memaksa dan mengatakan, kalau Edhi punya rasa cinta tanah air, pasti
bisa.
Edhi
langsung pulang ke Jogja menghubungi beberapa seniman, termasuk menghubungi
para pensiunan PJKA dan eks anggota Brigade Tentara Pelajar Solo, untuk
mengerjakan pengecoran. Mereka pun setuju dan siap membantu meskipun dengan
alat sederhana. Dalam waktu setahun, kerjaan pun selesai.
Dengan
pertimbangan keseimbangan, tinggi patung menjadi 8,5 meter. Meskipun begitu,
Bung Karno dan Ir Sutami, Menteri PU saat itu, tak mempermasalahkannya. Bung
Karno puas. Sejak itulah Edhi Sunarso dipercaya sebagai pematung dan mendapat
proyek-proyek patung monumen yang lain, seperti Patung Dirgantara yang berdiri di
Prapatan, Jakarta dan Monumen
Nasional (Monas).
Tentang
Patung Dirgantara, ada cerita menarik. Ongkos pembuatannya sekitar Rp 12 juta.
Edhi baru dibayar Rp 7,5 juta. Saat itu posisi Bung Karno kritis, tak bisa
mencairkan dana pemerintah. Edhi pun menjual mobil dan barang berharga lainnya
buat belanja bahan dan membayar pekerja. Bahkan setelah patung jadi, Bung Karno
minta agar patung segera dipasang. Maka Edhi berkata, “Dari mana dananya? Saya
sudah tak punya uang...”
Lalu,
Bung Karno menyuruh ajudannya menjual salah satu mobil pribadi Bung Karno untuk
biaya pasang patung. Mobil laku Rp 1,2 juta. Waktu pemasangan, setiap minggu
Bung Karno datang ke lokasi. Masyarakat pun memberi sambutan yang luar biasa.
Tapi, ini membuat Pak Harto cs, gerah. Akhirnya, Bung Karno dilarang
keluar rumah sejak itu.
Sepeninggal
Bung Karno, Edhi Sunarso tetap dipercaya menggarap patung dan monumen
perjuangan. Beberapa karyanya, antara lain: Monumen Pembebasan Irian Barat di
Jakarta, Monumen Pancasila Sakti Lubang Buaya dan dioramanya di Jakarta,
Monumen Jenderal Ahmad Yani di Bandung, Monumen Jenderal Gatot Subroto di
Surakarta, Monumen Pahlawan Samudera Yos Sudarso di Surabaya, Monumen Yos
Sudarso di Biak, Monumen Sultan Thaha Syafudin di Jambi, dan diorama Sejarah
Museum Yogya Kembali di Yogyakarta.
Mengenai
keluarga, Edhi menikah dengan wanita bernama Kustiyah, yaitu seorang pelukis
kelahiran Purbalingga yang merupakan adik kelas waktu di ASRI. Dalam
pernikahannya, Edhi dikaruniai 4 orang anak, yaitu: Rosa Arus
Sagara, Titiana, Irawani, Satya Sunarso, dan Sari Prasetyo Angkasa. (Yunisa Priyono, Almanak Seni Rupa Jogja
1999-2009)
Sumber:
Minggu Pagi, edisi No 23 Tahun 56, 1 September 2003
Tidak ada komentar:
Posting Komentar