“Anusapati
seorang pembunuh” adalah
salah satu hasil yang muncul saat mengetik namanya di mesin pencari google.
Tapi, tulisan ini tidak
akan membahas tentang Anusapati yang mendalangi pembunuhan Ken Arok, Raja
Tumapel. Tulisan ini adalah untuk mengungkap tentang sosok pematung
kelahiran Solo 29
September 1957 yang juga bernama Anusapati. (@yunisap)
Pria yang akrab dipanggil Ninus ini,
terkenal kuat sebagai pematung kayu. Ia banyak menggunakan material kayu sejak
awal ‘90-an. Bahan kayu sendiri dipilih karena saat bekerja dengan kayu, ia
merasa dekat dengan alam. Ia sangat menghargai benda-benda alam sebagai bentuk
ketertarikannya pada persoalan ekologi. Konsep karyanya sendiri berupa alam,
ekologi, dan persoalan-persoalan sosial.
Saat bekerja dengan kayu, Anusapati
merasa dapat berinteraksi degan bau, kekerasan, hingga serat-serat kayunya yang
merupakan dokumentasi dari “perjalanan hidup” pohonnya. Dan bekerja dengan kayu
tidak hanya merupakan suatu upaya untuk mengamati bentuknya yang sudah ditentukan
oleh pohon, tetapi juga ikut terlibat mengalami dan membaca “riwayat” yang
menjadi bagian tak terpisahkan dari kayu.
Anusapati banyak memanfaatkan
potongan-potongan kayu, ranting, atau limbah kayu untuk membuat karya-karyanya.
Bahan kayu yang digunakan bukan hanya kayu "ningrat" seperti jati atau sonokeling, namun juga kayu yang
biasa digunakan sebagai bahan bakar, seperti kayu mindi.
Tak jarang Anusapati juga menggunakan
kayu yang belum mengering. Ini dilakukan karena ia percaya bahwa di dalam suatu
siklus alam, bahkan suatu karya seni pun, suatu saat harus kembali kepada alam.
Tema-tema yang diangkat untuk
karya patungnya, secara umum berkaitan dengan lingkungan. Ide juga datang dari
lingkungan, baik alam maupun sosial. Dengan karya-karyanya yang bertema
lingkungan, diharapkan lebih mencerminkan masyarakat di sekitarnya.
Saat menggunakan material perunggu pun,
Anusapati tetap menunjukkan kelekatannya dengan tema tersebut. Yang lebih
menarik, karya patung Anusapati menunjukkan pendalaman secara substansial atas
tema lingkungan, juga pada visualisasinya yang sering menunjukkan surprise atau
daya kejut.
Dalam memperlakukan bahan kayu,
Anusapati menghormati sifat aslinya. Jejak pahatan atau sayatannya, justru
menonjolkan urat kayu, lingkaran tahun, dan warna kayu. Tanpa cat atau polesan
lain, patung-patung karyanya dibiarkan menebar pesona alaminya.
Ia juga sering membiarkan retakan atau
rusak pada kayu-kayu yang dipahatnya, membiarkan seperti aslinya. Retak
atau patahan yang dibiarkan dalam patungnya diharapkannya dapat
mengkomunikasikan aura spiritual yang dikandung oleh kayu dan sekaligus
merupakan sebuah gambaran mengenai takdir alam. Anusapati juga sering
menonjolkan proses pertukangan ketimbang wujud akhir patungnya.
Pada karya-karya Anusapati, selalu
dapat ditemui dua wajah atau dua ungkapan yang menyatu dan saling mengaburkan
batas masing-masing. Pada satu sisi, wajahnya adalah seorang seniman yang
selalu ingin menyambungkan ekspresi individunya kembali dengan suatu ruang
kesadaran kosmologis-kolektif yang pernah ada. Dan pada sisi yang lain adalah
posisi yang diambil untuk berdiri di tengah kehidupan kontemporer yang
pengaruhnya datang bertubi-tubi tanpa dapat dielakannya, serta selalu
menariknya ke luar semakin jauh dari lingkungan lama itu, bersama semua
salurannya yang monolit dan pandangan-pandangannya yang cenderung memperbarui
untuk menguasai.
Dengan material kayu, karya-karya
Anusapati telah menjadi trend setter bagi para pematung lain, terutama
yang junior, baik di Yogyakarta maupun wilayah lain. Para pematung itu banyak
mengacu pada penjelajahan kreatif yang dilakukan oleh Anusapati yang sederhana,
substansial tetapi memberi kebaruan meski tetap mengetengahkan
kesederhanaan material.
Karya-karya
Anusapati, sebagian besar identik dengan kebudayaan kampung. Karya-karyanya
mengingatkan kepada lesung, perahu, kotak sirih, garu, kelenengan lembu, roda
gilingan, dan beduk, misalnya. Tetapi ia bukanlah pecinta berat tradisi seperti
pematung Gregorius Sidharta atau Amrus Natalsja. Dua yang terakhir ini
terilhami ragam hias dan patung seni dari pelbagai khazanah etnik Nusantara.
Sedangkan Anusapati, dengan memilih pertukangan dan keperajinan, justru membawa
paradoks dari alam tradisi.
Berhubungan dengan bahan kayu dan
bentuk karya patung Anusapati, Kurator Hendro Wiyanto menulis bahwa itu adalah
kritik bermata dua: terhadap penggunaan bahan serba mengkilat dan luks yang
menjadi pilihan utama para pematung, dan terhadap budaya masyarakat dalam
memamah barang yang memancarkan kemodernan dan kemewahan.
Mengenai ketertarikannya pada seni,
khususnya seni patung, Anusapati menyukai patung sejak SMA. Lulus SMA, ia
melanjutkan studi di STSR ASRI (1984). Kemudian pada tahun 1990 belajar seni patung di School of Art and Design, PRATT Institut New York USA.
Anusapati telah beberapa kali melakukan
pameran tunggal, antara lain: “Time is
Running Out” C-Line Gallery, Jakarta 1993, “Reconstruction”, The Kitamoto
Cultural Center, Suitama, Japan 1997, dan “Genesis”, Nadi Gallery,
Jakarta 2001. Selain itu ia juga banyak mengikuti pameran bersama baik di dalam
maupun di luar negeri.
Penghargaan yang pernah diraih
Anusapati antara lain Karya Terbaik untuk Seni Patung
, STSRI “ASRI” Yogyakarta (1983); Fulbright
Scholarship (1988), Penghargaan Juri, Biennale Jakarta IX (1996), dan
Penghargaan 3 karya Terbaik, Triennale Seni
Patung Indonesia, Jakarta (1998).
Sumber:
Wawancara Anusapati by Yunisa
Priyono tanggal 30 September 2009, jam 19.30 WIB
Katalog
Pameran Genesis, Nadi Gallery, 19 Juli – 5 Agustus 2001
Tidak ada komentar:
Posting Komentar