Tidak mau menjadi “pelacur”
adalah prinsip Pramono Pinunggul, pematung lulusan Institut Seni Indonesia
(ISI) Yogyakarta. Tapi, ini bukan prinsip yang berhubungan dengan sex
atau menjual tubuh demi uang, melainkan pelacur dalam hal berkesenian. (@yunisap)
Menurut pria
kelahiran Wonogiri 20 November 1969 ini, memang ada banyak seniman yang “melacurkan
diri”
dengan meninggalkan idealis demi bisnis. Dalam berkarya mereka tidak lagi
peduli pada proses berkesenian dan malah sering menjadi plagiat. Jadi, tujuan
mereka dalam berkarya adalah semata-mata demi uang.
Seperti “pelacur sex”
yang mendapat hukuman dari masyarakatnya, tentu “pelacur seniman” pun juga demikian.
Dalam dunia seni, mereka akan dipandang sebelah mata. Dan meskipun ia kaya,
derajat kesenimanannya akan dinilai rendah.
Pramono Pinunggul
sendiri, sebenarnya juga pernah tergoda oleh dunia bisnis. Tapi kemudian, ia
bertekad untuk total menekuni kesenimanannya. Ia tidak mau membuka bengkel
patung, yang terus dikelola seperti pabrik kerajinan karena nanti pasti
energinya habis untuk mengawasi pekerja. Tentang ia masih menerima pesanan, itu
hanyalah untuk menghidupi karya fine arts-nya.
Bagi Pramono, berkarya (berkesenian) merupakan olah spiritual, seperti
halnya beribadah menurut keyakinannya. Wacana yang muncul dan berkembang
memberikan semangat kreatifitas untuk memacu dan memantapkan pilihannya dalam
dunia seni, khususnya seni patung.
Proses berkesenian
Pramono, terdapat empat babak. Pertama ia membuat patung berbau akademis yang
bentuknya modern yang idenya terbawa dari kampus. Kedua, ia membuat patung yang
memakai elemen simbol,
misalnya bentuk keris dan gunungan.
Ketiga, ia membuat
patung bentuk-bentuk figuratif. Terakhir, keempat adalah babak gabungan antara
satu, dua, dan tiga. Tapi tentunya ia tidak terpaku pada salah satu babak.
Sekali-kali ia tetap mengeluarkan babak satu, dua, tiga, atau
empat secara bergantian sesuai kondisi.
Tentang Ide, Pramono
mendapatkannya secara improvisasi, kemudian dilakukan pengendapan. Agar tidak
kelupaan, ia akan membuat sketsa terlebih dulu. Dan dalam perjalanan waktu, ide
itu masih bisa berubah.
Saat
menggarap ide, kadang ia menyesuaikan tema. Kadang ia juga main-main dengan
bahan, mengeksplorasinya hingga menjadi sebuah karya baru. Dan mengenai hasil
karya, kadang sehari ia dapat lebih dari satu. Tapi kadang lebih dari seminggu
tidak dapat satu karya pun.
Untuk karya-karyanya,
Pramono menggunakan berbagai medium seperti kayu, batu, dan logam. Ia juga
tidak menolak pengaruh dan bahan baru/bahan asing, yang bisa dikembangkan atau
memperkaya kebudayaan bangsa serta mempertinggi derajat bangsa.
Tema yang menarik
buat Pramono adalah humanisme dan wanita. Khusus wanita, alasannya karena dalam
tubuh wanita terkandung banyak misteri, juga bentuknya enak untuk dinikmati.
Dan saat merekonstruksi bentuk wanita, juga akan melatih kepekaan.
Dalam berkarya,
Pramono tidak membatasi karyanya masuk dalam aliran apa. Semua aliran baik
realis, surealis, ataupun simbolis akan dipakainya. Ia juga tidak mau didekte untuk membuat karya dalam aliran
tertentu. Pernah ada seorang kurator yang menyuruhnya agar karyanya
dibuat dengan aliran tertentu, tapi ditolaknya.
Mengenai
perjalanannya menjadi seniman, karier sebagai pematung dimulai sejak 1990.
Penghargaan yang pernah diraihnya, yaitu: Juara I Sayembara Monumen Kudus Kota
Kretek (2004), Juara I Dies Natalis IX ISI (1993), dan Pemenang Karya Patung Terbaik Pekan Festival Mahasiswa Seni se-Indonesia
PEKSIMINAS di Yogyakarta (1992). Sedang karya patung yang menjadi
favoritnya, antara lain: Konflik (2000); Gadis Pujaan, dan Tegar
(2002).
Pramono juga
terlibat dalam beberapa proyek pembuatan museum dan monument, antara
lain: Pers di TMII (1992), Museum Peta/Pembela Tanah Air Bogor (1994),
Monumen Adhi Sakti AAU Yogyakarta (1994), Relief Sejarah Telekomunikasi Indosat
Jatiluhur (1995), Monumen Bumi Hang Nadim Batam (1995), desain Taman Makam
Pahlawan Kusumanegara Yogyakarta (1996), serta Interior dan Relief Gunungan
Aula Depdikbud Yogyakarta (1997).
Pameran yang
diikutinya, antara lain: Pameran Tiga Pematung di
Kinnara Galleries Bali (2001), Seni Patung Jejak Perunggu Sembilan
Pematung di Galeri Canna Jakarta (2002), Pameran Seni
Patung “25x25x50” di Galeri Lontar Jakarta (2003), Enam Manusia Urban di
Bentara Budaya Yogyakarta (2004), Pameran Patung di Taman Budaya Surakarta
(2005), Pameran Patung di Tonyraka Galeri Ubud Bali
(2006), Pameran Patung di Pakuwon Edwin Gallery di Surabaya (2007), Pameran
Patung Unfold di Taman Budaya Yogyakarta (2008), dan Pameran Fresh 4U
Jogja Galery Yogyakarta.
Selain sebagai
pematung, Pramono juga mengoleksi banyak keris di rumahnya. Dan memang,
beberapa karya patungnya sendiri juga memakai elemen keris. Karya yang
ditampilkan dengan menggunakan bentuk keris, akan mudah dikenal dan bisa
menjadi ciri khas. Keris sendiri, juga memiliki nilai estetika tinggi, nilai
simbolis, dan makna tertentu sehingga akan memberikan spirit atau dampak yang
baik bagi pemakainya. (Yunisa Priyono, Katalog pameran dan wawancara
dengan Pramono
Pinunggul, 8 September 2009, jam: 16.10 WIB, di Studio Prampin).
keren dan moga sukses . . .
BalasHapusjaga eksistensi and semoga sukses
BalasHapus