Selasa, Juli 03, 2012

Daftar Komunitas Seni Lukis Yogyakarta, Indonesia


GELARAN BUDAYA-KOMUNITAS
Patehan Wetan No. 3 Kraton
Komunitas Gelaran terbentuk dari ruang Gelaran Budaya yang didirikan di penghujung tahun 1999 dengan sebuah seremoni sederhana. Penggagas dan pendiri komunitas ini ialah Alpha Tejo Purnomo, Alit Sembodo, Didik Nurhadi, Dipo Andy, Galam Zulkifli, Nugro Wantoro, Rain Rosidi, Taufik Rahzen, dan Yayat Surya. Gelaran Budaya berdiri sebagai sebuah komunitas terbuka yang menghormati perbedaan dan mencita-citakan rekonsiliasi kebudayaan.(@yunisap)
Berawal dari pencarian ruang, komunitas Gelaran Budaya lantas mematangkan konsep mereka dengan jargon “Ruang Publik Waktu Budaya”. Komunitas Gelaran mulanya menyewa tempat di sekitar Patehan Wetan, Kraton, sebagai ruang. Kemudian menyewa ruang lagi di Jalan Menukan 273, Karangkajen hingga 2004.
Nama “Gelaran” diartikan sebagai “ruang untuk menggelar peristiwa” dan sekaligus sebagai “peristiwa untuk memberikan gelar”. Pelbagai kegiatan seni tumbuh dan berkembang dalam komunitas ini. Kegiatan tersebut antara lain pameran seni rupa, pementasan teater, serta kegiatan-kegiatan yang bersifat perayaan keragaman ekspresi seni.
Saat kegiatan berkesenian Gelaran Budaya sebagai sebuah ruang surut di penghujung 2004, anggota Gelaran Budaya di tahun-tahun setelahnya berkiprah dalam “Waktu Budaya” atau jaringan.
Di masa vakum itu sayap perbukuan Gelaran Budaya masih intensif menerbitkan buku-buku sejarah, pers, kronik dan mendirikan pelbagai Taman Bacaan di perkampungan pelosok Jawa dengan bendera program “Gelaran Ibuku”. Tahun 2009 atau 10 tahun aktivitasnya, Gelaran Budaya Komunitas merayakan ulangtahunnya dengan meriset dan menerbitkan buku Gelaran Almanak Senirupa Jogja 1999-2009 yang diterbitkan atas kerjasama Gelaran Budaya dan Indonesia Buku.

IKATAN KELUARGA ISTRI SENI RUPAWAN YOGYAKARTA (IKAISYO)
Jl Gajah Tahunan UH III/ 93 | 0274 380055
Kelompok ini unik, atau mungkin satu-satunya. Berdiri pada 14 Agustus 1982. Bermula dari peristiwa keluarga yakni acara khitanan putra keempat pelukis Bathara Loebis di Pengok Gondokusuman. Menurut Ny Bathara Loebis, niat membentuk IKAISYO muncul secara spontan. Awalnya hanya omong-omong biasa bikin acara arisan antar keluarga seniman, lalu terbentuklah IKAISYO. Anggotanya di antaranya Ny Bagong Kussudiardja, Ny Bathara Loebis, Ny Edhi Sunarso, Ny Widayat, Dyan Anggraini, dan keluarga seniman lain. Dari gaya keseniannya terutama seni lukis anggota IKAISYO berasal dari pelbagai mahzab seni seperti naturalis, ekspresionis, deformatif total, hingga abstrak ekspresionis.
IKAISYO selain sebagai wadah kumpul mempererat persaudaraan juga untuk mendorong para suami dalam berkarya. Kegiatan rutin tiap bulannya adalah arisan. Selama 18 tahun berkiprah, IKAISYO juga memberi manfaat lingkungan sekitar terutama dalam kegiatan sosial sebagai upaya peningkatan ras solidaritas antar seniman. IKAISYO berkali-kali menyelenggarakan pameran seni rupa, lomba lukis anak-anak, serta terlibat dalam gelaran Pasar Seni Festival Kesenian Yogyakarta tahunan.

Indonesian Visual Art Archive (IVAA)
Patehan Tengah No.37 | 375247 | ivaa-online.org |ivaa@ivaa-online.org
Sebuah lembaga nirlaba di Yogyakarta yang didirikan tahun 1995, dan dikenal dengan nama Yayasan Seni Cemeti sampai April 2007. Melalui dokumentasi, riset, perpustakaan, serta penyelenggaraan program edukasi dan eksplorasi seni visual, IVAA berfungsi sebagai think-tank atau laboratorium kreatif yang menggagas berbagai pemikiran serta kegiatan-kegiatan pendukung perkembangan seni visual dan budaya kontemporer, baik secara praktek mau pun wacana.
Koleksi dokumentasi IVAA meliputi rekaman proses berkarya seniman dan peristiwa seni visual dalam format foto, audio, dan video, serta hibah berupa buku-buku referensi seni visual dan budaya, katalog pameran dalam dan luar negeri, portfolio perupa, sampai salinan karya berbasis audio maupun video.
Saat ini database IVAA menyimpan ribuan data dan segala arsip yang berhubungan dengan seni visual di Indonesia dan juga internasional yang telah terkumpul selama lebih dari 10 tahun, dan tersimpan dalam perpustakaan IVAA. Perpustakaan independen ini ditujukan sebagai infrastruktur penyedia informasi, referensi dan pembelajaran bagi perupa, peneliti, mahasiswa, kurator, kritisi dan berbagai pihak lainnya dalam ranah seni rupa.
Sejak pertengahan 2008, IVAA melakukan proses digitalisasi dan kemitraan arsip dengan berbagai lembaga seni rupa di Indonesia untuk preservasi arsip, dan mempublikasikan koleksi tersebut ke jaringan online sebagai Pusat Informasi Digital untuk Seni Visual di Indonesia. Koleksi atau Arsip Online IVAA atau IVAA Online Resource Center of Indonesian Contemporary Art itu diluncurkan secara resmi pada 19 Agustus 2009 di Galeri Nasional Indonesia Hall C, Jakarta.
Sebagai pengembangan dari kerja dokumentasi dan pengarsipan ini, IVAA juga melakukan pelbagai kegiatan yang berhubungan dengan pengembangan seni dan budaya visual, seperti program kursus menulis (Aksara Creative Art Writers Club), artist’s talk, workshop, pameran, proyek seni, seminar, dan lain sebagainya.
Saat ini IVAA dipimpin Farah Wardani dengan Dewan Pengurus antara lain: Raihul Fadjri, Agung Kurniawan, Yustina W. Nugraheni, Mella Jaarsma, Nindityo Adipurnomo, Mahatmanto, dan Anggi Minarni.


KELOMPOK NUANSA
Kelompok ini terdiri dari 8 perupa yang merupakan sub kelompok dari Sanggar Dewata Indonesia.

KELOMPOK SEPI
Jl I Dewa Nyoman Oka 4 A Kotabaru | 0856286820
Berdiri atas prakarsa Agus Nuryanto, Oda Teda Ena, dan Budyana pada 1999. Anggota kelompok ini cukup banyak dan mengalami pasang surut, namun yang aktif hanya sekira 20 orang saja. Tahun 1999 SEPI mengadakan dua kali pameran instalasi di dua kota. Pameran outdoor bertajuk “Of Violence and Men I” di jalan Ahmad Yani dan “Of Violence and Men II” di Sriwedari, Solo. Penampilannya didukung pelukis pematung dan penyair seperti Fajaral K, Santo Banana, Sriwintala Achmad, Ahmad Santosa, Erwin MB, Gatot.
SEPI juga pernah mengadakan performance art pada pameran Ouda Teda Ena dan Fajaral bertajuk “Question and Context” di Java Cafe Yogyakarta dan pameran Santo Banana dan Erwin berjudul “Satu Atap”, di Taman Budaya Surakarta. Tahun 2000 memperingati ulang tahun pertamanya SEPI menggelar pameran berlabel “Peloeit 2000”. Pameran ini menampilkan banyak seniman baik dari lukis maupun patung.

LEMBAGA BUDAYA KERAKYATAN TARING PADI
Jl Gampingan 1 | taring99@hotmail.com
Lembaga Budaya Kerakyatan Taring Padi didirikan beberapa mahasiswa Seni Rupa ISI Yogyakarta pada 21 Desember 1998 di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta. Penggagasnya antara lain Yustoni Volunteero, Devi Setiawan, Surya Wirawan, dan lain-lain. Taring Padi bertujuan mengembangkan seni dan budaya lokal dengan orientasi kerakyatan yang digali dari kebutuhan rakyat. Sesuai denga namanya, Lembaga Budaya Kerakyatan Taring Padi menganut ideologi Demokratis Kerakyatan dalam memajukan kebudayaan. Menurut mereka keberpihakan kepada rakyat ini adalah harga mati.
Keanggotaan lembaga ini terbuka dan berasal dari pelbagai latar belakang, seperti seniman, budayawan, kritikus seni, mahasiswa seni, musisi, dan sebagainya. Agar tetap netral dan objektif, lembaga ini melarang para anggota Taring Padi untuk menjadi pengurus Parpol maupun TNI-Polri. Kemunculan Taring Padi hendak mengubah paradigma yang selama ini salah kaprah mengenai esensi seni. Lembaga ini sangat menentang seni sebagai sebuah komoditas. Komunitas ini berpendapat, seni yang berorientasi seperti itu hanya akan menghancurkan seni itu sendiri.
Di samping kegiatan seni, Taring Padi juga sangat sensitif terhadap masalah-masalah sosial. Contohnya Taring Padi pernah berjuang bersama rakyat menentang pembangunan pabrik Semen Gresik di Gunung Kendeng, Pati, Jawa Tengah. Selain itu, sejak 1 Desember 1998, Taring Padi mengeluarkan album bulanan “Trompet Rakyat”. Buku bergambar ini berisi karya para anggota Taring Padi, berupa puisi, cerpen, komik, esai, dan iklan layanan masyarakat. Buku ini dibagikan gratis kepada mereka yang merepresentasikan rakyat kecil, seperti buruh, kaum tani, tukang becak, dan lain-lain. Dengan buku ini, rakyat hendak diberikan pendidikan politik lewat media seni yang menarik.

PAGUYUBAN 13
Berdiri dan muncul di permukaan seni rupa atas prakarsa dan gagasan lima pelukis yakni Sudaryono, Uki Sukisman, Tresna Suryawan, Rebet MS, dan Dwidjo Widiyono.

SANGGAR BAMBU
Jl Rotowijayan KP II / 30A | 08122736422
Komunitas yang terdiri dari pelbagai bidang seni seperti lukis, teater, sastra, dan seni musik. Sanggar Bambu berdiri tahun 1960 oleh Yanto. Sejumlah seniman pernah berproses dan berkarya di Sanggar Bambu, sebut saja Untung Basuki, Hendro Suseno, dan banyak lagi. Dilihat dalam kegiatannya, Sanggar Bambu terbagi pada masing-masing bidang seni, misalnya seni musik dipimpin A. Untung Basuki, namun bukan berarti terpecah-pecah pada setiap bidang seni. Semua kegiatan selalu dilakukan bersama-sama apalagi ketika melakukan hajatan besar seperti pementasan teater ataupun pameran lukisan.

SANGGAR BIDAR SRIWIJAYA/ RUMAH SENI MUARA
Jl Ontoseno No.6, Wirobrajan | sanggarbidarsriwijaya@yahoo.com
Sanggar Bidar Sriwijaya merupakan salah komunitas etnis atau kedaerahan (Sumatera Selatan) yang berada di Yogyakarta. Komunitas yang didirikan pada 1999 ini bertujuan memberikan ruang ekspresi bagi para anggotanya. Sanggar Bidar Sriwijaya sempat mengalami kevakuman. Tapi kekosongan itu segera terisi dengan munculnya Rumah Seni Muara pada 2002, yaitu sebagai kelanjutan dari Sanggar Bidar Sriwijaya. Seperti saudara tuanya, dalam perjalananya Rumah Seni Muara juga bernasib sama macet dan berlahan-lahan menghilang. Kegiatan yang pernah dilakukan komunitas ini seperti bimbingan seni bagi mahasiswa baru (anggota), pameran seni rupa dan pertunjukan seni dua tahunan, yaitu proyek multi rupa antara Palembang dan Yogyakarta, dan diskusi-diskusi seni.

SANGGAR DEWATA INDONESIA (SDI)
Jl Ali Maksuk No. 125 Pelem Sewu Sewon Bantul | sanggardewata@yahoo.com
SDI didirikan pada 15 Desember 1970 dari Balai Banjar “Saraswati” di kampung Baciro. Komunitas perupa ini diprakarsai sejumlah mahasiswa STSRI “ASRI” dan seniman muda asal Bali seperti Made Wianata, Nyoman Gunarsa, Pande Gde Supada, Nyoman Arsana, dan Wayan Sika. SDI dimaksudkan mengakomodasi seniman Bali namun kemudian menjadi lebih dinamis dan terbuka. SDI bukan saja berperan sebagai wadah, tapi ibarat tubuh SDI juga berfungsi sebagai sarana untuk menghubungkan antara mereka dengan masyarakat seni rupa yang lebih luas.

Sumber: Gelaran Almanak Seni Rupa Jogja 1999-2009


Tidak ada komentar:

Posting Komentar