“Saya ingin mengaitkan diri kembali
dengan jalur kehidupan tradisi, di samping sekaligus tetap berdiri di alam
kehidupan masa kini, yang berarti satu keinginan untuk menghilangkan jarak antara
kehidupan tradisional dan masa kini.” (G. Sidharta Soegijo)
Gregorius Sidharta Soegijo yang lahir
di Yogyakarta pada 30 November 1932 dan meninggal pada 4 Oktober 2006 adalah
pematung penting. Selain mendirikan Asosiasi Pematung Indonesia (API), Ia juga
memiliki peran menonjol dalam menghadirkan karya-karya seni rupa di tengah
publik. (@yunisap)
Pria yang panggilan akrabnya Dharta
ini, dalam seni patung sering menggunakan media yang tak lazim, seperti beras
atau mata uang. Ia juga banyak menjelajahi berbagai media seni rupa lainnya,
seperti seni lukis, cetak saring, keramik, dan kerajinan tangan.
Mengenai konsep berkarya, Dharta pernah
mengatakan, “Saya berkarya mengikuti
nafas, dari hari ke hari, dari pagi hingga malam. Ke depan saya berjalan ke
belakang saya menengok agar perjalanan tak pernah putus. Dahulu adalah
leluhurku, kini saya berada dan esok adalah keturunanku. Satu rangkaian yang
bersambung tak terputus menyongsong masa depan yang abadi”.
Dalam proses berkarya, Dharta sering
tidak memiliki angan-angan yang sangat jelas terhadap hasil akhir. Ada gejolak
antara dunia gagasan dan persoalan lain, yaitu alat, bahan, teknik, dan
kemampuan tanggannya. Sekalipun mulanya gagasan telah dikonsepkan, baik ketika
masih di otak (imajinasi) dan akhirnya tergambar pada sketsa, tarik ulur antara
imajinasi, konsep, dan medium selalu saja terjadi. Di sini telah terjadi
"musyawarah dan perang" antar gagasan.
Eksplorasi Dharta merupakan pencarian
yang dilakukan dengan sadar untuk mengadakan suatu reorientasi terhadap
kekhususan ungkapan dari suatu kepribadian Indonesia, yang dipahami sebagai
bukan ungkapan individual, tetapi sebagai suatu kepribadian yang kolektif.
Demikian akhirnya Dharta dapat menilai dari berbagai karyanya, sebagai seniman
yang selalu saja dapat tegar melakukan "perang dan musyawarah"
sekaligus selalu mendendangkan proses anti-establish terhadap media apa pun
yang dipegangnya.
Tentang asal-usulnya, Dharta merupakan
anak ketiga dari sebelas bersaudara dengan Ayah-ibu seniman. Ayahnya,
Bernardius Soegijo (meninggal tahun 1950), dan ibunya, Claudia Soemirah
(meninggal tahun 1985), menghidupkan kepekaan estetik anak-anaknya dengan lingkungan
keluarga yang menggemari musik klasik Barat maupun Jawa dan berbagai kegiatan
kesenian lain.
Sebelum mendalami seni patung di
Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta, Dharta sempat mempelajari
dasar-dasar melukis dari tokoh-tokoh pelukis, seperti Hendra Gunawan dan Trubus
di Sanggar Pelukis Rakyat pada tahun 1950-an.
Tahun 1953 Dharta dikirim belajar di
Jan van Eyck Academie di Maastricht, Belanda oleh misi Gereja Katolik. Dan
setelah tiga tahun belajar di Negeri Kincir, ia kembali pulang ke Yogyakarta.
Saat itu, kecenderungan seni rupa Dharta yang seolah hanya mementingkan bentuk,
semakin kuat. Ia dianggap kebarat-baratan.
Kemudian, pada 1965, Dharta ditarik ke
Bandung oleh pelukis dan pematung, But Muchtar, untuk mengajar di Jurusan Seni
Rupa ITB. Keberadaannya di Bandung seolah makin memperjelas perbedaan
Yogyakarta dan Bandung dalam hal seni rupa.
Dharta baru kembali ke Yogyakarta
setelah pensiun dari ITB. Keberadaannya di Yogyakarta, menggairahkan kegiatan
mematung di situ. Di Yogyakarta, ia mendirikan API yang berbagai kegiatannya
sering diramaikan oleh kritik. Dalam berbagai pamerannya, API tak ragu
menyandingkan karya-karya para perupa senior dengan karya-karya perupa muda.
Nama Gregorius Sidharta sendiri, mulai
menanjak ketika ia menyajikan karyanya yang berjudul Tangisan Dewi Betari yang
kini menjadi koleksi sebuah museum di Jepang. Karya patungnya itu melawan
konvensi seni patung Barat maupun lokal, karena bentuknya yang pipih sehingga
dianggap bukan patung.
Karya-karyanya yang lain yang
membuatnya terkenal, antara lain: Tonggak Samudra, Monumen Pelabuhan Peti Kemas
di kawasan Tanjung Priok, Jakarta Utara, Garuda Pancasila di atas podium Gedung
MPR/DPR, patung Bung Karno di makamnya di Blitar, tata ruang Monumen
Proklamasi, serta rancangan Piala Citra yang merupakan perpaduan seni
tradisional wayang dan modern, serta patung "Mekatronik".
Selama hidupnya, sejak tahun 1957
Dharta banyak melakukan pameran tunggal maupun bersama, antara lain di Jakarta,
Bandung, Yogyakarta, Jepang, Singapura, India, Polandia, Norwegia, Thailand,
Filipina, dan New York. Ia berharap di dalam karyanya, dapat mengembangkan
peradaban manusia.
Dharta pernah mendapatkan berbagai
penghargaan atas karya-karyanya, antara lain: Anugerah Seni dari Badan Musjawarah
Kebudayaan Nasional (1952), Anugerah Seni DKI Jakarta (1982), Penghargaan
Patung Terbaik dari Dewan Kesenian Jakarta (1986), Penghargaan ASEAN ke-2 untuk
Kebudayaan, Komunikasi dan Karya Sastra (1990), dan Penghargaan Rencana Monumen
Proklamator di Jakarta. Ia juga berjasa karena mendirikan Studio Seni Patung
ITB dan mendirikan Institut Kesenian Jakarta.
Menjelang akhir hayatnya, Dharta masih
aktif berkarya. Karyanya yang terakhir adalah sebuah salib yang diberinya judul
Crucifix 2006. Selain itu, masih ada satu lagi patung yang belum sempat diberi
judul, berupa patung wanita duduk.
Gregorius Sidharta meninggal dunia pada
usia 74 tahun karena kanker paru-paru yang telah diidapnya selama satu tahun.
Ia menghembuskan napasnya yang terakhir di Rumah Sakit Dr. Oen, Surakarta,
setelah sebelumnya sempat dirawat satu malam di tempat yang sama. Jenazahnya
dimakamkan di Pemakaman Keluarga Besar Moerdani di Astana Bonoloyo, Kadipiro,
Solo, pada 5 Oktober 2006.
Ia meninggalkan seorang istri, Maria
Sri Noerna Moerdani, dan empat orang anak, Maria Antoinette Marisa Sandra,
Brigitta Rina Aninda, Ionna Mirah Trisani, dan Gregorius Bima Bathara, serta
delapan orang cucu. Dari keempat anaknya ini, hanya anak bungsunya yang
mengikuti jejaknya dalam kesenian. (yunisap)
Sumber:
http://www.wikipedia.org/wiki/Gregorius_Sidharta, diakses
pada 08-09-2009, Pukul 20.27 WIB.
http://www.gudeg.net/id/directory/73/299/Gregorius-Sidharta-Soegijo.html,
dakses pada 08-09-2009, Pukul 20.30 WIB.
http://www.tamanismailmarzuki.com/tokoh/sidharta.html,
diakses pada 11-09-2009, Pukul 10.10 WIB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar