ALI Syari'ati
adalah sebuah nama yang tak asing lagi bagi kebanyakan kalangan umat Islam,
termasuk di Indonesia. Kemasyhurannya bisa disandingkan dengan tokoh-tokoh
Republik Islam Iran lainnya, seperti Imam Khomeini, Murtadha Muthahhari, dan
Allamah Thaba'thabi. (@yunisap)
Nama-nama mereka cukup familier di telinga umat Islam Indonesia.
Seperti tokoh-tokoh Iran lainnya, ketokohan dan intelektualitas Syari'ati
semakin populer bagi masyarakat muslim Indonesia setelah Revolusi Iran meletus
pada 1979. Apalagi setelah buku-buku karyanya, misalnya Kritik Islam atas
Marxisme dan Sesat-Pikir Barat Lainnya, Islam Agama 'Protes', dan Haji
diterjemahkan dan diterbitkan dalam bahasa Indonesia.[1]
Kelahiran
hingga Kematian Ali Syari’ati
Ali Syari’ati
bin Muhammad Taqi Syari’ati, lahir 24 November 1933 di Desa Mazinan, Propinsi
Khurasan, Iran. Ia berasal dari keluarga miskin yang terhormat karena keulamaan
orangtuanya. Sebagaimana pemikir lain, pendidikan awalnya didapat dari orang
tuanya sendiri. Malam hari belajar membaca Al Qur’an, siangnya bekerja membantu
orang tua.[2]
Pendidikan
dasar formalnya dimulai tahun 1944 di sekolah swasta Ibn Yamin di Masyhad.
Tahun 1950, ia menamatkan
Sekolah Menengah Atas Ferdowsi. Pada
tahun itu juga, ia masuk
Kolese Pendidikan Guru Masyahad dan tamat tahun 1952. Pada tahun 1958, setelah
lima bulan menikahi seorang dara bernama Pouran, ia masuk fakultas sastra
Persia Masyhad. Setelah tiga tahun belajar, ia memperoleh gelar BA. Tahun 1959, karena kecerdasannya
dan keluasan wawasannya, ia memperoleh beasiswa untuk melanjutkan studi di
Perancis. Di negeri inilah, ia mendapat
kesempatan untuk mengembangkan pemikirannya yang kemudian terkenal demokratis,
liberal, dan sosialis bertuhan.[3]
Di universitas Sorbone, ia memperoleh
gelar Doktor dalam bidang Sosiologi dan Sejarah Agama.
Di Perancis
Syari’ati berhasil menyatukan orang-orang Iran yang ada di Eropa dan Amerika
dalam wadah organisasi yang bernama Front National Iran. Bersama organisasinya
itu, Syari’ati
meningkat kemasyhurannya dan keberaniannya dalam membongkar kezaliman dan
kediktatoran Iran yang sedang berkuasa. Maka, ia menjadi target intelijen rahasia Iran (SAVAK). Bahkan, ia dijebloskan
ke penjara ketika pulang ke Iran.
Setelah keluar
masuk penjara, tepatnya tahun 1976, Syariati berhasil meloloskan diri ke Paris,
dan beberapa waktu kemudian ke London. Tidak hanya ke kota ini, ia sebenarnya
merencanakan ke Amerika Serikat, tetapi sebelum sampai di sana, ia telah
meninggal secara misterius di rumah temannya, di Inggris pada Juni 1977.
Kematiannya diduga kuat karena kerja rapi intelijen rahasia SAVAK.[4]
Pemikiran Ali Syari’ati tentang Islam
Ali Syari’ati
adalah salah satu sosok yang cukup berperan dalam mengangkat, mengkritisi, kemudian
merekontruksi gagasan revolusioner Marx ke dalam wacana pemikiran Islam. Ia
telah menggabungkan sikap anti imperialisme Dunia Ketiga (bahasa ilmu sosial
Barat) dan ajaran Syi’ah Iran untuk menghasilkan suatu ideologi Islam
revolusioner bagi revormasi sosial politik. Gagasan Syari’ati yang berani dan
brilian telah merasuk ke berbagai komponen masyarakat Iran, baik kalangan
intelektual, mahasiswa, ulama, dan berbagai kelompok sosial-pekerja. Dari
sanalah kesadaran akan perubahan bagi kondisi yang lebih baik, keberanian untuk
bergerak, dan kesadaran kelas mulai mengeliat muncul.
Ali Syari’ati
sering diposisikan sebagai seorang sekuleris, bahkan seorang Marxis yang bersembunyi
di balik jubah Islam. Itulah sebabnya meskipun secara jasad sosoknya telah
mati, tapi wacana pemikirannya terus hidup dan dibiarkan terus berdialog dengan
perkembangan pemikiran yang mengikuti arus zaman. Oleh karena itu pul,a membuat pemikirannya tetap bertahan dan layak
didiskusikan.
Pemikiran Ali Syari’ati tentang Sejarah
Menurut
Syari’ati, gerak majunya sejarah dalam Islam adalah demi terwujudnya kesadaran
akan Allah sebagai Khaliq. Baginya, proses transformasi dialektis merupakan
kunci bagi perkembangan sosial dan sejarah. Ia menerima metode dialektika
Hegel, dimana tesis, antitesis, dan sintesis dapat memperjelas watak umum
perkembangan sejarah apa pun, termasuk sejarah Islam tentunya. Lebih jauh
Syariati berpendapat, apabila ingin menganalisis suatu gerakan, ideologi,
filsafat, agama, dan revolusi dalam sejarah umat manusia maka akan terlihat
tiga hal pokok yang tidak dapat tidak sebagai esensinya. Pertama, adalah
perihal cinta dan mistisme. Kedua, perihal kebebasan. Ketiga, perihal pengupayaan
keadilan sosial.
Mistisme
menurutnya merupakan perwujudan alamiah esensi keingintahuan manusia, yang
mendesaknya untuk merenungkan tentang wujud non-material di dunia ini. Oleh
karenannya, pemikiran seorang tentang hal ini akan membawa orang itu pada
pemahaman hal yang metafisis, di samping membuatnya mampu berkembang ke arah
kesempurnaan spiritual Illahiyah.
Adapun perihal
kebebasan, Syari’ati berpendapat bahwa kebebasan individu merupakan kebebasan
parsial. Sedangkan kebebasan yang diformulasikan Islam, berorientasi pada
tujuan yang menjamin kebahagiaan, kebebasan sempurna dan hakiki, dari segala
yang membelenggu.
Berkaitan
dengan pengupayaan keadilan sosial, menurut Syari’ati merupakan suatu yang
diidamkan masyarakat. Menurutnya sistem yang dapat memberikan persamaan dan
keadilan sosial adalah sosialisme, yang mungkin tidak dapat disamakan dengan
sosialisme yang diidolakan oleh Karl Marx. Sosialisme yang dimaksudkan
Syari’ati lebih bersifat etika, dan karenanya masyarakat ideal menurutnya
adalah masyarakat yang berdasarkan pada sistem ekonomi sosialis, yang diatur
oleh nilai etika dan spiritual yang berdasarkan keimanan kepada Allah.[5]
Syari’ati
memandang sejarah sebagai konstruksi archetypal (pola dasar) dari berbagai
realitas unik-yang muncul dalam fakta-fakta sejarah-untuk diarahkan mencapai
tujuan-tujuan ideologis tertentu.[6]
Dengan kata lain, fakta-fakta sejarah yang akan ‘membisu’ jika dibiarkan begitu
saja, haruslah direkontruksi secara revolusioner. Bagi Syari’ati Islam dalam
setiap momen historisnya harus dibandingkan dengan membuang kebiasaan-kebiasaan
lama yang dipegang kaum muslim untuk kemudian menampilkan esensi kandungan
Islam itu sendiri dalam bentuk baru.
Bagi Syari’ati, sejarah bukan
hanya menyangkut masa silam. Sejarah tidak berarti apa-apa jika tidak akan
bermanfaat, jika tidak akan membantu manusia memahami masyarakat di masa
datang. Memahami sejarah manusia di masa silam adalah untuk mengerti perjalanan
sejarah di masa datang. Dan manusia harus menulis sejarah masa depannya itu.
Sejarah masa
depan, dengan melongok sejarah masa silam, sesuai dengan kecenderungannya
dijelaskan Syariati secara Sosiologis. Meski demikian, ia memegang satu prinsip
sentral dalam ilmu sejarah, yakni kontinuitas dan perubahan. Dalam kerangka
ini, bentuk-bentuk masyarakat di masa depan berkaitan erat dengan pola masa lampau,
meski terdapat pula perubahan-perubahan penting. Periode sejarah, baginya,
saling berkaitan seperti mata rantai. Tapi, setiap periode
itu mempunyai semangat, kekhususan, dan kecenderungan-kecenderungan tertentu.[7]
Menurut
Syari’ati, sejarah umat manusia bukanlah sebuah peristiwa kebetulan. Dengan
diwarnai sekian banyak pertentangan di tingkat yang beragam, sejarah beranjak
dari satu titik kesengajaan, menuju dan berakhir pada titik atau sasaran
tertentu pula. Berangkat dari sudut pandang bermakna inilah, kemudian Syari’ati
selalu terdorong untuk mencermati dari mana sejarah berawal dan basis apa yang
memotivasi keberlangsungan sejarah umat manusia, terutama dalam kaitannya
dengan cerita-cerita yang dituturkan Al Qur’an.
Dalam
meletakkan pandangannya tentang manusia, masyarakat dan sejarah, Syari’ati
merujuk pada Al Qur’an. Menurutnya, ajaran Islam tentang filsafat sejarah
adalah berdasarkan semacam determinisme historis tertentu. Sejarah adalah
aliran peristiwa yang berkesinambungan. Ia merupakan pertarungan konstan antara
dua anasir berlawanan yang bermula sejak kejadian manusia. Pertarungan itu
berlangsung di segenap tempat dan waktu, dan jumlah totalnya itulah yang
merupakan sejarah.
Menurut
Syariati, Al Qur’an telah memuat suatu pelajaran mengenai filsafat sejarah.
Dalam teori tentang sejarah, ia mendasarkan pada peristiwa pertentangan antara
Habil dan Qabil. Seperti yang diungkapkannya, “Di manakah bermulanya
sejarah? Apakah titik tolaknya? Ialah pertarungan antara Qabil dan Habil.” Pertentangan
Habil dan Qabil merupakan determinisme historis yang telah lama terjadi dan
akan selalu terjadi dalam realitas masyarakat.
Kisah Qabil dan
Habil melukiskan hari pertama kehidupan anak Adam di muka bumi ini. Hal ini
memperkuat fakta ilmiah, bahwa kehidupan, masyarakat, dan sejarah didasarkan
atas kontradiksi dan pertarungan. Sedangkan faktor asasi yang mempengaruhi
konflik tersebut ialah ekonomi dan seksualitas, yang mengalahkan keyakinan
agama, ikatan persaudaraan, kebenaran dan moralitas.
Syari’ati
menyebut Habil sebagai lambang kaum tertindas dan Qabil sebagai lambang para
penindas. Kelompok yang diwakili Habil adalah kelompok yang tertindas, yaitu
rakyat yang sepanjang sejarah dibantai dan diperbudak oleh sistem Qabil, sistem
hak milik individu yang memperoleh kemenangan dalam masyarakat. Peperangan
antara Habil dan Qabil mencerminkan suatu pertempuran sejarah abadi yang telah
berlangsung pada setiap generasi. Panji-panji Qabil senantiasa dikibarkan oleh
penguasa, dan hasrat untuk menebus darah Habil telah diwarisi oleh generasi
keturunannya – rakyat tertindas yang telah berjuang untuk keadilan,
kemerdekaan, dan kepercayaan teguh pada suatu perjuangan yang terus berlanjut
pada setiap zaman.
Syari’ati
menjelaskan berdasarkan kisahnya, sumber konflik antara Qabil dan Habil adalah
sebagai berikut; Qabil lebih menaruh hati kepada saudaranya yang telah
dipertunangkan kepada Habil dari pada kepada tunangannya sendiri. Dia berkeras
untuk merebutnya dan menuntut agar pertunangan yang telah disetujui Adam itu
dibatalkan. Kedua bersaudara itu lalu menghadap Adam yang kemudian menyarankan
mereka agar mempersembahkan korban. Siapa yang diterima korbannya dialah yang
akan mendapat sang putri, sedangkan yang ditolak harus menerima kekalahannya.
Qabil mencoba berbuat licik. Korban yang disajikannya berwujud hasil panen
pertaniannya yang telah membusuk, korbannya tidak diterima. Sementara Habil
mempersembahkan hasil pengembalaan ternaknya yang istimewa, ia pun diterima.
Lantaran itu, Qabil secara
keji membunuh Habil. Sebelum terjadi pembunuhan, Habil sudah menyatakan
mengalah dan menyerahkan tunangannya kepada Qabil, akan tetapi Qabil tetap
membunuh Habil.
Pada dasarnya, antara Habil
dan Qabil memiliki bawaan baik. Yang membuat Qabil jahat, ialah latar belakang
profesinya yang mengarahkan sikap dan karakteristik buruk, yaitu sistem sosial
yang anti manusiawi, masyarakat kelas, rezim hak milik pribadi yang menumbuhkan
perbudakan dan pertuanan yang terbangun dalam sistem ekonomi Qabil (sistem
pertanian).
Syari’ati
berpendapat bahwa maksud ayat yang bersangkutan ialah tidak sekedar untuk
mengutuk pembunuhan, tidak pula hanya persoalan seksualitas. Menurutnya, pendapat
demikian terlalu dangkal dan sederhana, yang lebih penting dari kisah itu
adalah persoalan kepentingan ekonomi. Faktor lingkungan, latar pendidikan dan
kultural jelas tidak mungkin mempengaruhi peristiwa tersebut. Alasannya, dalam
lingkungan awal perkembangan manusia diperkirakan masyarakat manusia belum lagi
berbentuk benar, dan aneka suasana kultural serta kelompok sosial belum lagi
tumbuh. Karena itu tidak ada alasan untuk mengatakan pengaruh dari
faktor-faktor agama dan pendidikan yang berbeda, sehingga masing-masing tumbuh
dewasa sebagai lawan terhadap yang lain, masing-masing merupakan simbol tipe
kelompok tertentu.[8]
[1]Idris Thaha, Sirah Klasik Politik Ali Syari’ati, www.
media-indonesia.com, 22 November 2006, Pukul
09.00 WIB.
[2] Misri A. Muchsin, Filsafat Sejarah dalam Islam,
Yogyakarta: Ar-Ruzz Press, 2002, hlm. 128.
[3] Ali Syari’ati, Islam Mazhab Pemikiran dan Aksi, terj.
MS. Nasrullah dan Afif Muhammad, Bandung: Mizan, 1995, hlm. Viii-9.
[4] Misri A.
Muchsin, op. cit. , hlm. 129.
[5] Ibid., hlm. 130-131.
[6] Azyumardi Azra, Historiografi Islam Kontemporer: Wacana,
Aktualitas, dan Faktor Sejarah, Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 2002, hlm. 232.
[7] Ibid. hlm. 236.
[8]Eko Supriyadi, Sosialisme Islam: Pemikiran Ali Syari’ati,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003, hlm. 168-173.
0 Response to "Ali Syari'ati, Sebuah Biografi Singkat"
Posting Komentar