pasang

I Nyoman Masriadi, Pelukis Termahal Indonesia


"Saya nggak mau jadi pelukis Bali, pelukis Jawa, pelukis Sumatera, atau pelukis Indonesia. Saya mau jadi pelukis dunia. Semua pelukis juga ingin begitu. Siapa yang nggak mau seperti Andy Warhol."

Menembus  pasar Asia dan mendongkrak lukisan kontemporer Indonesia. I Nyoman Masriadi telah melakukan itu bersama Lukisan-lukisannya. (@yunisap) Bahkan pada Mei 2008, lukisannya yang berjudul Sudah Biasa Ditelanjangi (2008), berhasil memecahkan ‘rekor termahal’ lukisan kontemporer Asia Tenggara. Lukisan itu laku HK$ 4,2 juta (US$ 538.000) di lelang Christie's International.

Pria kelahiran Gianyar, Bali, 28 Oktober 1973 ini, sangat intens dalam menekuni dunia lukisan. Intensitasnya tersebut tampak pada kemampuannya dalam menampilkan potensi-potensi medium itu. Potensi tersebut tentu bukan semata soal teknis penggambaran, warna, atau komposisi, melainkan juga lukisan sebagai idiom.
Lukisan sendiri adalah "ibu" seni rupa, dalam sejarah ia selalu merevitalisasi dirinya, sesuai dengan kekuatannya dalam wacana representasi pictorial. Secara histories, wacana seni lukis selalu memperbincangkan antara aspek ilusif (karakter kedalaman) dan flatness (karakter kedataran). Karya Masriadi merupakan bentuk representasi pictorial, artinya sebuah penghadiran ulang yang menyandarkan pada kemiripan ikonik. Penghadiran tersebut mempergunakan medium spesifik: lukisan.
Pada awalnya, karya Masriadi menunjukkan fenomena menarik, di satu sisi karyanya tampak seperti ilusif, namun cara penggambaran gelap-terang yang diterapkan pada elemen-elemen objek (bukan pada kesatuan yang menyeluruh), menyebabkan karyanya terasa flat.
Dalam karya-karya berikutnya, Masriadi banyak mengolah aspek ilusif dalam lukisan. Seiring perubahan cara penggarapan tersebut, Ia menemukan sebuah ekspresi yang sangat berbeda dengan karya sebelumnya. Dalam karya-karya ini, dimensi ilusif itu menghasilkan kedalaman, jarak, dan ruang. Di sini ekspresi akan ketenangan dan kesunyian mengedepan, sangat berbeda dengan karya sebelumnya yang flat, fokus pada satu objek, dan terasa "ramai". Masriadi memperlihatkan bagaimana kefasihannya terhadap medium ungkap sangatlah berpengaruh pada kemungkinan intensi seniman dalam menghasilkan sebuah ekspresi yang spesifik.
Masriadi mengawali eksplorasi melukisnya di Institut Seni Indonesia. Karirnya dimulai sejak ia kembali ke Bali dan menetap di Yogyakarta. Semasa di Bali ia berkenalan dengan beberapa kolektor, menjual lukisannya dari rumah ke rumah, dan sempat ditolak sana-sini.
Pada 1999-2000, Masriadi mulai tinggal di Yogyakarta dan menjalin kerjasama dengan kolektor serta galeri seni. Awalnya ia sering memberikan karyanya secara cuma-cuma kepada orang yang memang menyukai lukisannya. Tapi, ia sempat kecewa karena setelah beberapa lama, karya itu malah dijual tanpa ada pemberitahuan.
Di Yogyakarta, Masriadi yang pernah bergabung dalam Sanggar Dewata pada 1993 ini merintis karyanya secara serius. Setelah tidak aktif di sanggar tersebut, ia memilih untuk melukis sendiri sambil kadangkala mengadakan pameran bersama. Kerjasama yang khusus dengan satu pihak dan sistem manajemen yang rapi merupakan salah satu kunci keberhasilan Masriadi menembus pasar Asia.
Selain memiliki strategi khas dalam percaturan politik seni lukis, Masriadi juga mempunyai cara yang unik untuk membicarakan zamannya melalui apapun yang dilukisnya. Manusia-manusia berkulit hitam legam, cokelat tua, biru atau merah
muda, dengan otot dan urat yang menonjol, sedang melakukan aktivitas sehari-hari, menjadi salah satu ciri khas karakter sosok yang digambar oleh Masriadi.
Melalui permainan warna, gelap terang, lekuk tubuh dan ekspresi wajah sosok- sosok tersebut, Masriadi menemukan cara berbicara tentang pengalaman dan lingkungan sekitarnya. Karya-karyanya yang berkisah tentang kejadian sehari-hari antara lain: Aerobik (2000), Dance (1999), Leyeh-leyeh (2000), Listening (2004), dan Lelaki dengan Pedang Pendek (2006).
Dalam karya-karyanya, Masriadi kadang juga memperlihatkan semangat guyonnya, misalnya pada; Week End I, Week End II, Week End III (semua karya tahun 1999). Di sana ia menggambarkan perempuan kekar berkulit hitam dengan otot-otot yang menonjol sedang mengadakan ‘ritual akhir pekan’: sikat gigi, mencabuti bulu ketiak, dan ganti celana.
Mengenai tema, Masriadi memilih masalah-masalah sosial yang dekat dengan dirinya. Melalui sosok-sosok manusia dalam lukisannya, ia mengolah tema itu sebagai medium kritik sosial. Berbagai kritik terhadap masalah-masalah sosial dihadirkan dengan penuh humor, seperti pada: Album Baru (2000), Bos Cuek (2000), Bos Bima Mencukur Bapak Arjuna (2002), Kamsiah (2005), Jangan Tanya Masriadi Tanya Presiden (2007).
Di balik lukisan-lukisannya yang nyleneh dan sedikit iseng, Masriadi mengaku bahwa tidak ada objek khusus yang selalu ingin dilukisnya, banyak hal yang bisa digambar. Menurutnya, objek atau hal apapun yang sering digambar oleh seorang pelukis, sebenarnya bukan hal penting dari seniman itu. Itu hanya kebiasaan dari sang pelukis, seperti sarapan, bangun tidur. Demikian juga sosok-sosok manusia yang sering muncul dalam lukisannya. Mereka bukan hal utama bagi Masriadi. Yang pokok baginya adalah kemampuan seorang seniman untuk bercerita di balik apa yang digambarnya, ekspresif dan menampilkan karakter yang kuat.
Tentang Lakunya sebuah karya dengan harga tinggi, bagi Masriadi adalah sebuah keberuntungan. Ia percaya bahwa lukisan yang laku dengan harga tinggi bukan berarti itu diminati. Minat seorang pada lukisan itu tergantung kecintaannya pada lukisan. Di Indonesia sendiri jarang ada kolektor yang mencintai lukisan.
Sebagai pelukis, Masriadi memiliki sikap konsisten terhadap apa yang dikerjakannya. Meskipun lukisannya laku, ia tidak terus membuat lukisan sebanyak-banyaknya, tapi yang utama setiap lukisannya harus dikerjakan dengan bagus. Berikutnya selain manajemen yang rapi, yang terpenting baginya adalah ketekunan dan niat dalam berkarya. (Yunisa)
 Sumber:
Stanislaus Yangni, Nyoman Masriadi: Ingin Berhenti Main di Indonesia, dalam Majalah Seni Rupa Visual Arts, V0l. 4, No. 23, Februari-Maret 2008.

0 Response to "I Nyoman Masriadi, Pelukis Termahal Indonesia"

Posting Komentar